Hasil penilaian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional periode II tahun 2010 terhadap jurnal berkala ilmiah terbitan perguruan tinggi, lembaga penelitian, ataupun organisasi profesi pada November lalu menunjukkan, hanya dua jurnal yang terakreditasi A dan 26 jurnal terakreditasi B.
Sebanyak 46 jurnal, beberapa diantaranya berasal dari perguruan tinggi ternama, tidak terakreditasi. Jurnal terakreditasi A itu adalah The South East Asian Journal of Management yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia; dan Microbiology Indonesia terbitan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Jakarta.
Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah yang disusun Ditjen Dikti Depdiknas pada tahun 2006 menyebutkan, ada delapan kriteria yang dinilai dalam proses akreditasi. Kriteria dengan bobot berbeda-beda itu adalah penamanaan, kelembagaan penerbit, penyuntingan, penampilan, gaya penulisan, substansi, keberkalaan, dan kewajiban pascaterbit.
Untuk meningkatkan kualitas jurnal Indonesia, Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga mantan Direktur Riset dan Kajian Stretegis IPB Arif Satria, akhir pekan lalu, mengatakan setiap perguruan tinggi, apalagi fakultas atau program studi, tidak perlu membuat jurnal sendiri. Jurnal ilmiah cukup disusun oleh organisasi profesi ilmuwan sehingga kualitasnya lebih baik.
"Kita tak perlu mengejar jumlah, tetapi mengejar kualitas jurnal. Di sinilah peran organisasi keilmuwan harus kuat untuk menghasilkan riset berkualitas. Ilmuwan dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian harus bisa berkolaborasi," katanya.
Namun, Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Institut Teknologi Bandung Wawan Gunawan A Kadir menolak usulan itu. Upaya peningkatan mutu jurnal perguruan tinggi dapat dilakukan dengan peningkatan standar jurnal agar terindeks dalam basis data jurnal ilmiah global.
Jika mengejar jumlah jurnal semata, menurut Wawan, potensi jurnal Indonesia bisa melebihi jurnal produksi Malaysia dan Thailand. Namun, ilmuwan Indonesia lebih banyak memilih memublikasikan penelitiannya di jurnal bergensi yang menjadi rujukan ilmuwan internasional.
Tumpang tindih
Selain persoalan kuantitas dan kualitas, penelitian berbagai lembaga penelitian di Indonesia sering kali tumpang tindih. Akibatnya, penelitian yang dilakukan kurang menghasilkan kemajuan berarti karena mngulang-ulang penelitian yang dilakukan lembaga lain.
Ketua Dewan Riset Nasional Andrianto Handojo mengatakan, lembaga yang melakukan penelitian di Indonesia cukup banyak. Lembaga itu terdiri dari 114 perguruan tinggi negeri, 301 perguruan tinggi swasta, 8 badan usaha milik negara, 8 badan usaha milik swasta, 76 lembaga penelitian departemen, 91 lembaga penelitian non departemen, dan 24 lembaga penelitian pembangunan daerah.
Jumlah peneliti yang bekerja di berbagai lembaga tersebut belum bisa dirinci secara pasti.
"Kalau pemerintah ingin riset itu maju, persoalan regulasi dan koordinasi riset harus dituntaskan terlebih dahulu," ujarnya.
Pola pikir pemerintah mengenai kegiatan riset juga perlu dibenahi. Selama ini, sistem anggaran dari pemerintah untuk riset masih disamakan dengan belanja barang.
Kepala Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bambang Subiyanto mengatakan, regulasi yang ada selama ini justru menghambat kegiatan riset ataupun aplikasinya. "Implementasi hasil penelitian rendah karena regulasi yang tidak jelas," ujarnya.
Ketidakjelasan aturan juga terjadi pada proses pelibatan swasta dalam riset serta pemanfaatan bana hibah. (ELN/NAW/MZW).
Sumber : Kompas. Senin 13 Desember 2010. Halaman 12.
------------------------------------------
Berita PTN Terkait :