Karakter Keindonesiaan Semakin Ditinggalkan
Sistem pendidikan nasional harus didesain ulang karena kenyataannya telah melahirkan kesenjangan akses pendidikan yang semakin lebar serta meninggalkan karakter bangsa. Pada hal, tujuan pendidikan nasional yang dicita-citakan para pendiri bangsa adalah masyarakat yang cerdas, berkeadilan, serta berkarakter keindonesiaan.
Pengamat pendidikan, HAR Tilaar, mengatakan acuan system pendidikan nasional yang berkiblat kepada Negara-negara maju, terutama yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), menciptakan kesenjangan akses dan mutu pendidikan yang semakin lebar antara sekolah yang berstandar pelayanan minimal, sekolah berstandar nasional, dan sekolah berstandar internasional. “Padahal, semestinya bangsa ini harus memperjuangkan pemerataan dan keadilan pendidikan terlebih dahulu,” ujarnya.
Pendidikan selama puluhan tahun belum bisa menopang pengentasan kemiskinan. Kenyataannya, hampir 1,7 juta anak usia 6 – 15 tahun tidak tamat SMP. Padahal, mereka itu seharusnya mendapatkan hak dasar pendidikan sembilan tahun yang menjadi tanggung jawab negara.
Sebanyak 30 persen lulusan SMP tidak bisa melanjutkan pendidikan. Adapun lulusan SMA yang tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi hampir 60 persen.
Bagikan beasiswa
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mengatakan, sulitnya siswa miskin menikmati pendidikan tinggi memang menjadi persoalan serius.
”Mata rantai kemiskinan keluarga harus diputus dengan memberikan akses seluas-luasnya bagi anak miskin untuk sekolah dan kuliah,” kata Mohammad Nuh. Langkah yang ditempuh pemerintah, antara lain, memberikan berbagai beasiswa untuk siswa miskin serta mengalokasikan 20 persen dari kapasitas kursi perguruan tinggi negeri untuk mahasiswa miskin.
Muslimin Nasution, Ketua Presidium Ikatan Cendekiawan Muslin Se-Indonesia (ICMI), mengatakan, arsitektur pendidikan telah salah mendesain pendidikan nasional. ”Pendidikan itu tidak Cuma untuk menciptakan anak pandai, tetapi juga harus membentuk warga yang berkarakter”, ujarnya.
Sastrawan Acep Zamzam Noor mengatakan, pendidikan sekarang mengabaikan pembelajaran sastra. Padahal, sastra ikut memengaruhi pembentukan karakter siswa. Pada zaman penjajahan Belanda, setiap siswa harus membaca 25 buku sastra dalam setahun. ”Sekarang, belum tentu siswa membaca satu buku sastra dalam setahun.” ujar Acep dalam Serasehan Kebahasaan dan Kesastraan Indonesia yang berlangsung di Yogyakarta (ELN/IRE).
Sumber : Kompas, Rabu, 20 Oktober 2010, Halaman 12
---------------------------------
Berita PTN Terkait :
- Kualitas Masih Jadi Persoalan Utama
- Hanya Dua, Jurnal Ilmiah Berakreditasi A
- Tingkatkan Jumlah dan Kualitas Jurnal Ilmiah
- Publikasi Penelitian Rendah
- 150.000 Dosen Belum Optimal Meneliti
- Minim, Jumlah Mahasiswa ke Pascasarjana
- Seleksi Nasional PTN Lewat Dua Jalur
- PTN Wajib Siapkan Beasiswa
- PTN Didorong Makin Mandiri