Vertebrata Dunia Terancam Punah

Perlu Upaya Konservasi Lebih Serius

Sejumlah species vertebrata menghadapi ancaman kepunahan serius. Rata-rata 50 species mamalia, burung, amfibi, reptil, dan ikan mendekati kepunahan setiap tahun.

Hal itu mengemuka dalam UN Convention on Biological Diversity di Nagoya, Jepang 18 – 29 Oktober 2010. Para perwakilan negara berkumpul di Jepang untuk menetapkan target dan pencapaian di bidang pelestarian keanekaragaman hayati.

Laporan mengenai ancaman kepunahan tersebut merupakan hasil studi International Union for the Conservation of Nature (IUCN). Studi yang diluncurkan dalam pertemuan dunia itu juga dipublikasikan di jurnal Science baru-baru ini.

Studi itu menggunakan Red List of Threatened Species IUCN, Studi berbasis 25000 data species yang diikuti dengan ketat statusnya, khususnya vertebrate, itu menyebutkan 41 persen amfibi dan 13 persen burung paling terancam. Red List of Threatened Species IUCN merupakan pusat informasi status konservasi global paling komprehensif di dunia.

“Tulang punggung dari keragaman hayati sedang terkikis,” ujar pakar ekologi, Profesot Edward O. Wilson dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, Kamis (28/10). Kondisi itu pun baru sebatas species yang diamati teratur dan dikategorikan statusnya oleh IUCN.

Kepunahan terbesar terjadi di Asia Tenggara, lokasi terjadinya pembalakan dan pembukaan hutan untuk lahan pertanian. Hutan merupakan habitat berbagai species. Selain itu, eksploitasi berlebihan dan adanya pemangsa merupakan factor lainnya.

Menurut penelitian IUCN, proporsi dari species yang menghadapi kepunahan meningkat. Namun, upaya intensif konservasi akan mengembalikan keadaan.

Ketua Divisi Species Survival Commission dari IUCN, Simon Stuart mengatakan, dengan memahami ancaman yang ada, disertai upaya konservasi serius, keadaan dapat dipulihkan.

Species yang pernah hamper punah kemudian berhasil dipulihkan, antara lain, burung kondor California (Gymnogyps californianus), kakaktua kaki hitam (Mustela nigripes) di Amerika, dan kuda Przewalski (Equus ferus) di Mongolia.

Pelarangan penangkapan paus komersial secara perlahan meningkatkan populasi paus berpunuk (Megaptera novaeangliae) sehingga species itu benar-benar keluar dari daftar merah.

Contoh lainnya ialah populasi global burung Seychelles magpierobin (Copsychus sechellarum) yang semula kurang dari 15 ekor pada 1965 meningkat menjadi 180 ekor pada 2006 dengan cara mengontrol pemangsa burung tersebut.

Dalam pertemuan di Nagoya, utusan negara-negara mempunyai ambisi berbeda dalam upaya konservasi dan berdebat mengenai siapa yang akan membiayai upaya tersebut.

Pendanaan yang ada sekarang untuk memerangi hilangnya keragaman hayati, yakni sekitar 3 miliar dollar AS dalam satu tahun, dirasa kurang oleh Negara berkembang. Jepang menawarkan 2 miliar dollar AS kepada Negara berkembang untuk tiga tahun mulai 2010. (INE/REUTERS/SCIENCEDAILY/BBC).

Sumber : Kompas, Jumat, 29 Oktober 2010, Halaman 13

-----------------------------

Berita Ipteks Terkait :

  1. Era Tablet Dimulai
  2. "Technopreneur" Langka di Indonesia
  3. Mikroba Untuk Antiosteoporosis
  4. Peneliti Asing Incar Lautan
  5. Tradisi Lisan Bisa Jadi Mediasi Konflik
  6. Tradisi Lisan Jadi Bahan Ajar
  7. Angklung Warisan Dunia
  8. Bahasa Asing di RSBI Tidak Efektif
  9. Tangani Lingkungan Dengan "Ecoregion"
  10. Bahasa Asing Jangan Menjadi Bahasa Pengantar
  11. Harus Bangga Gunakan Bahasa Indonesia
  12. Indonesia Pusat Peradaban Dunia
  13. Lemah Koordinasi Lembaga Riset
  14. Temulawak Dipatenkan Asing